spot_img

Sengketa Pulau Tujuh Pekajang Memanas: Bangka Belitung Gugat Status Administratif ke Mahkamah Konstitusi

Saturday, September 27, 2025

Wajib dibaca

NARASIKEPRI.com, BATAM – Sengketa teritorial yang telah berlangsung lama atas Pulau Tujuh Pekajang, sebuah gugusan pulau yang juga dikenal sebagai Desa Pekajang dan saat ini secara administratif berada di bawah Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, telah memasuki babak baru yang krusial. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Babel) secara resmi mengumumkan niatnya untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) guna menantang status administratif pulau tersebut. Langkah hukum ini bertujuan untuk mengklaim kembali pulau tersebut, meskipun Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menegaskan bahwa Pulau Pekajang telah sah menjadi miliknya berdasarkan keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2021.

Baca Juga: Penertiban Reklame Batam Picu Kontroversi: Pengusaha Tuntut Kejelasan Masterplan Kota

Konflik antarprovinsi ini berpotensi membawa implikasi jangka panjang yang signifikan terhadap batas-batas administratif, pengelolaan sumber daya, dan identitas regional. Perkara ini semakin menyoroti sensitivitas dan nilai penting wilayah kepulauan di kawasan tersebut. Keputusan untuk mencari penyelesaian hukum melalui lembaga konstitusi tertinggi di Indonesia menggarisbawahi kompleksitas dan akar permasalahan yang mendalam dari sengketa semacam ini.  

Latar Belakang Sengketa

Perselisihan mengenai Pulau Tujuh Pekajang bukanlah isu baru, melainkan sebuah permasalahan yang telah mengakar dan berlarut-larut selama lebih dari satu dekade. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung telah secara aktif mengejar klaimnya sejak setidaknya tahun 2013, bahkan mengalokasikan dana khusus untuk proses sengketa Pulau Tujuh pada November 2013. Komitmen jangka panjang ini menunjukkan betapa pentingnya pulau tersebut bagi klaim teritorial Bangka Belitung. Pada September 2021, Bupati Bangka secara formal menyerahkan penanganan sengketa Pulau Tujuh kepada pemerintah provinsi, mengangkat isu ini ke tingkat yang lebih tinggi.  

Meskipun klaim Bangka Belitung terus-menerus disuarakan, Pulau Tujuh Pekajang, yang juga dikenal sebagai Desa Pekajang dan terdiri dari tujuh pulau, saat ini berada di bawah yurisdiksi administratif Kepulauan Riau. Status ini secara resmi ditetapkan melalui keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2021. Sebelum keputusan ini, pulau tersebut memang sudah diakui sebagai bagian dari Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Keputusan Kemendagri inilah yang menjadi dasar administratif yang kini ditantang oleh Bangka Belitung.  

Fakta bahwa Bangka Belitung mengalokasikan dana untuk sengketa ini sejak 2013 dan bahwa Kemendagri telah membuat keputusan formal pada 2021, namun gugatan masih diajukan pada 2025, menunjukkan bahwa keputusan administratif atau eksekutif saja seringkali tidak cukup untuk menyelesaikan klaim teritorial yang sudah mengakar. Jika keputusan Kemendagri pada 2021 dimaksudkan sebagai resolusi definitif, upaya hukum lanjutan oleh Bangka Belitung melalui Mahkamah Konstitusi mengindikasikan bahwa ketetapan administratif tersebut tidak memberikan kepastian hukum atau penerimaan yang diperlukan bagi semua pihak. Hal ini menyoroti keterbatasan efektivitas demarkasi batas di tingkat eksekutif ketika dihadapkan pada klaim provinsi yang kuat dan berjangka panjang, sehingga memerlukan peninjauan yudisial oleh badan konstitusi tertinggi untuk mencapai resolusi yang benar-benar mengikat dan diterima.

Kasus Pulau Tujuh Pekajang ini bukanlah insiden terisolasi, melainkan cerminan dari banyaknya sengketa teritorial pulau yang belum terselesaikan di seluruh lanskap administratif Indonesia, membentang dari wilayah barat hingga timur nusantara. Konflik-konflik yang telah berlangsung lama ini seringkali tidak memiliki kepastian hukum yang definitif, menyebabkan ketegangan berulang antara provinsi-provinsi tetangga dan menyoroti tantangan sistemik dalam demarkasi batas internal. Banyak kasus semacam ini telah “menahun dan tak kunjung selesai,” menunggu kepastian hukum. Berulangnya dan berlanjutnya sengketa semacam ini, seperti yang terjadi pada Pulau Tujuh Pekajang, menunjukkan bahwa kerangka hukum dan administratif yang ada untuk demarkasi batas internal mungkin tidak memadai, ambigu, atau kurang memiliki kekuatan penegakan yang cukup untuk memberikan penutupan yang definitif. Ini menyiratkan kebutuhan akan mekanisme yang lebih kuat dan berlandaskan konstitusi untuk menyelesaikan isu-isu sensitif ini, dan keterlibatan MK dalam kasus ini dapat menyoroti area untuk perbaikan kebijakan atau legislatif di masa depan dalam perencanaan tata ruang dan tata kelola nasional.  

Berikut adalah linimasa singkat sengketa Pulau Tujuh Pekajang:

Tabel 1: Linimasa Sengketa Pulau Tujuh Pekajang

TahunPeristiwa KunciPihak TerlibatSumber
2013Bangka Belitung alokasikan dana untuk proses sengketa Pulau Tujuh.Pemprov Bangka Belitung  
2013Pemprov Babel evaluasi wilayah sengketa Pulau Tujuh.Pemprov Bangka Belitung  
2021 (Sept)Bupati Bangka serahkan penanganan sengketa Pulau Tujuh ke pemerintah provinsi.Pemkab Bangka, Pemprov Bangka Belitung  
2021Kementerian Dalam Negeri putuskan Pulau Tujuh Pekajang masuk wilayah administrasi Kepulauan Riau.Kemendagri, Pemprov Kepulauan Riau  
Juni 2025 (18 Juni)Gubernur Bangka Belitung Hidayat Arsani nyatakan akan selesaikan sengketa Pulau Tujuh di MK.Pemprov Bangka Belitung  
Juni 2025 (19 Juni)Kepulauan Riau tegaskan Pulau Pekajang sudah sah milik mereka, merespons gugatan Babel ke MK.Pemprov Kepulauan Riau  

Para Pihak yang Bersengketa

Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Penggugat)

Dipimpin oleh Gubernur Hidayat Arsani, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung adalah pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi. Motivasi utama mereka dalam membawa sengketa ini ke MK adalah untuk mencapai resolusi yang definitif dan, yang terpenting, “agar tidak menimbulkan kegaduhan di bangsa ini”. Pernyataan ini menyoroti keputusan strategis untuk mencari jalur hukum yang damai untuk isu yang berpotensi menimbulkan konflik.  

Baca Juga :  DPRD Kepri Sidak Proyek Reklamasi Bengkong, Minta Hentikan Sementara Aktivitas PT Batamas Puri Permai

Pernyataan Gubernur Hidayat Arsani tentang mencegah “kegaduhan di bangsa ini” menunjukkan adanya motivasi strategis yang melampaui sekadar akuisisi teritorial. Ini mengindikasikan pengakuan akan potensi ketidakstabilan sosial dan politik jika sengketa semacam ini tidak dikelola melalui saluran hukum yang formal dan sah. Dengan membingkai gugatan sebagai langkah untuk mencegah keresahan yang lebih luas, Gubernur menempatkan tindakan hukum tersebut sebagai langkah yang bertanggung jawab dan diperlukan demi keharmonisan nasional, bukan hanya klaim tanah provinsi. Ini menunjukkan pemahaman yang lebih dalam tentang sensitivitas politik seputar sengketa teritorial di negara kepulauan. Keterlibatan konsisten mereka dalam sengketa ini sejak setidaknya tahun 2013, termasuk alokasi dana khusus untuk proses tersebut, menggarisbawahi sifat klaim teritorial jangka panjang dan serius mereka atas Pulau Tujuh Pekajang.  

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Tergugat/Pihak Bertahan)

Gubernur Kepulauan Riau mempertahankan pendirian tegas bahwa Pulau Pekajang “sudah sah milik kami”. Posisi ini didukung kuat oleh keputusan Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, yang secara resmi menempatkan pulau tersebut di bawah yurisdiksi administratif Kepri. Pulau tersebut, termasuk wilayah berpenduduk yang dikenal sebagai Desa Pekajang, saat ini dikelola sebagai bagian integral dari Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Peran Kepri dalam proses hukum yang akan datang adalah untuk mempertahankan status administratif yang telah ditetapkan ini.  

Peran Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) berfungsi sebagai arbiter yudisial tertinggi dalam masalah konstitusi, memastikan kepatuhan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan luasnya meliputi melakukan uji materi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, dan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum. Yang terpenting, putusan MK bersifat final dan mengikat secara hukum, artinya tidak dapat diajukan banding.  

Khususnya untuk kasus Pulau Tujuh Pekajang, MK memiliki kewenangan spesifik untuk menyelesaikan sengketa batas wilayah melalui mekanisme “Pengujian Undang-Undang”. Ini berarti bahwa pengadilan akan memeriksa konstitusionalitas undang-undang, peraturan, atau keputusan pemerintah (seperti keputusan Kemendagri tahun 2021) yang mendefinisikan atau memengaruhi batas-batas administratif.  

Jika MK menemukan undang-undang atau keputusan yang relevan tidak konstitusional dalam penerapannya terhadap batas, putusannya dapat secara langsung menyebabkan “perubahan batas wilayah”. Hal ini menyoroti dampak mendalam dari keputusan MK dalam membentuk peta administratif Indonesia dan memberikan kepastian hukum yang definitif di area di mana keputusan eksekutif atau administratif gagal mencapai resolusi yang langgeng. Proses hukum akan melibatkan pemeriksaan cermat terhadap prinsip-prinsip konstitusional dan interpretasi undang-undang.  

Mengingat mandat spesifik MK untuk menyelesaikan sengketa batas melalui “pengujian undang-undang” dan fakta bahwa status Pulau Tujuh Pekajang saat ini didasarkan pada keputusan Kemendagri tahun 2021 , sangat mungkin bahwa gugatan Bangka Belitung akan secara khusus menantang konstitusionalitas atau legalitas keputusan Kemendagri ini atau instrumen hukum yang mendasarinya yang menempatkan pulau tersebut di Kepulauan Riau. Ini berarti strategi hukum Bangka Belitung tidak hanya akan menjadi klaim faktual atas geografi, tetapi argumen yang canggih yang menantang dasar hukum atau validitas konstitusional dari demarkasi administratif saat ini. Hal ini mengangkat kasus tersebut menjadi masalah hukum konstitusi, yang membutuhkan argumentasi hukum yang ketat dari kedua belah pihak.  

Putusan MK yang final dan mengikat dalam kasus ini tidak hanya akan menentukan nasib administratif Pulau Tujuh Pekajang, tetapi juga akan menetapkan preseden hukum yang signifikan tentang bagaimana sengketa batas antarprovinsi serupa, terutama yang melibatkan pulau-pulau, harus diselesaikan di seluruh Indonesia. Seperti yang disoroti, “Banyak kasus yang telah menahun dan tak kunjung selesai hingga kini. Sengketa pulau tersebar mulai dari barat hingga timur negeri ini”. Karena keputusan MK bersifat final dan mengikat , putusannya mengenai Pulau Tujuh Pekajang akan memberikan interpretasi definitif tentang prinsip-prinsip hukum dan kerangka konstitusional yang mengatur sengketa semacam itu. Ini dapat berfungsi sebagai patokan penting atau kerangka panduan bagi provinsi lain yang menghadapi masalah serupa, berpotensi memengaruhi strategi hukum di masa depan, menyederhanakan resolusi, atau bahkan mendorong reformasi legislatif mengenai demarkasi batas internal. Hal ini memperluas signifikansi kasus ini di luar pihak-pihak yang terlibat langsung.  

Implikasi Jangka Panjang

Hasil putusan Mahkamah Konstitusi akan secara definitif mengukuhkan atau mengubah batas-batas administratif antara Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Hal ini memiliki implikasi langsung dan mendalam bagi tata kelola regional, perencanaan tata ruang, dan pelaksanaan wewenang provinsi atas pulau dan wilayah maritim di sekitarnya. Batas yang jelas sangat penting untuk administrasi yang efektif dan penegakan hukum.

Baca Juga :  KPU Batam Bantah Tuduhan Pelanggaran TSM di Pilwako 2024 di Sidang MK

Wilayah pulau, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia, seringkali kaya akan sumber daya laut dan alam. Kepemilikan definitif akan menentukan provinsi mana yang memiliki hak hukum untuk mengelola dan memperoleh manfaat dari sumber daya ini, termasuk area penangkapan ikan, potensi pengembangan akuakultur, penambangan mineral (jika ada), dan pariwisata. Kontrol ini dapat secara signifikan memengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal yang tinggal di pulau tersebut dan berkontribusi secara substansial pada anggaran provinsi. Penyebutan “pengelolaan sumber daya” dalam permintaan awal, dikombinasikan dengan nilai intrinsik wilayah pulau, sangat menunjukkan bahwa kendali ekonomi atas sumber daya laut dan alam merupakan pendorong signifikan yang mendasari klaim teritorial ini. Pulau-pulau bukan hanya daratan; mereka datang dengan zona maritim di sekitarnya, yang seringkali kaya akan stok ikan, potensi eksplorasi minyak/gas, dan peluang pariwisata. Kontrol administratif atas sebuah pulau secara langsung memberikan yurisdiksi atas sumber daya berharga ini. Oleh karena itu, sengketa ini pada dasarnya adalah tentang provinsi mana yang secara hukum akan mengendalikan dan memperoleh manfaat ekonomi dari sumber daya ini, yang memengaruhi ekonomi regional masing-masing dan mata pencarian masyarakat lokal yang bergantung padanya.

Bagi penduduk Pulau Tujuh Pekajang (Desa Pekajang), afiliasi administratif sangat bersifat pribadi, memengaruhi identitas regional mereka, akses ke layanan publik (seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur), dan rasa kepemilikan mereka. Perubahan yurisdiksi provinsi dapat memerlukan penyesuaian signifikan dalam proses administratif, layanan sosial, dan bahkan ikatan budaya bagi penduduk lokal. Sengketa ini menggarisbawahi sensitivitas isu-isu ini, karena identitas regional seringkali terkait erat dengan klaim teritorial. Meskipun sengketa ini diperjuangkan di tingkat provinsi, dampak utamanya langsung menimpa penduduk Pulau Tujuh Pekajang (Desa Pekajang). Kehidupan sehari-hari mereka, akses ke layanan publik, dan rasa kepemilikan mereka secara intrinsik terikat pada provinsi mana mereka secara resmi menjadi bagiannya. Ketika batas administratif bergeser, itu secara langsung memengaruhi struktur pemerintahan lokal, penyediaan layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan, pengembangan infrastruktur, dan bahkan representasi politik serta hak pilih penduduk. “Identitas regional” yang disebutkan dalam permintaan awal bukanlah sekadar konsep abstrak, tetapi realitas yang sangat pribadi dan praktis bagi masyarakat pulau, menjadikan resolusi ini penting bagi kesejahteraan dan jati diri mereka.

Keputusan final yang mengikat secara hukum dari Mahkamah Konstitusi sangat penting untuk memastikan stabilitas politik dan hukum jangka panjang di wilayah tersebut. Seperti yang ditekankan oleh Gubernur Arsani, menyelesaikan sengketa semacam itu melalui jalur konstitusional sangat penting untuk “tidak menimbulkan kegaduhan”. Tanpa batas yang jelas dan diterima, ketegangan antarprovinsi dapat terus berlanjut, berpotensi menghambat kerja sama antar-regional, investasi, dan pembangunan secara keseluruhan. Resolusi ini memberikan kepastian dan mengurangi potensi gesekan di masa depan.  

Langkah Selanjutnya

Pemerintah Provinsi Bangka Belitung diharapkan akan melanjutkan dengan pengajuan formal permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini menandai dimulainya secara resmi proses hukum. Setelah permohonan terdaftar, Mahkamah Konstitusi akan memulai proses hukum yang terstruktur. Ini biasanya melibatkan beberapa tahapan, termasuk pemeriksaan pendahuluan, penyerahan bukti oleh kedua pemerintah provinsi, presentasi kesaksian ahli, dan sidang terbuka. Pengadilan akan secara cermat memeriksa semua argumen hukum dan faktual yang diajukan oleh kedua belah pihak.

Inti dari pekerjaan MK adalah untuk menilai konstitusionalitas undang-undang atau keputusan pemerintah yang relevan yang saat ini mendefinisikan status administratif Pulau Tujuh Pekajang, khususnya keputusan Kemendagri tahun 2021. Pengadilan akan menentukan apakah instrumen-instrumen ini selaras dengan prinsip-prinsip dan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Sifat peninjauan MK yang berfokus pada “konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” menyiratkan proses hukum yang sangat ketat dan kompleks yang melampaui klaim administratif sederhana atau argumen geografis. Tidak seperti sengketa faktual belaka, peninjauan konstitusional mengharuskan kedua provinsi untuk menyajikan argumen hukum yang canggih yang menunjukkan bagaimana batas administratif yang ada atau yang diusulkan sesuai atau melanggar prinsip-prinsip konstitusional fundamental. Ini berarti tim hukum akan menggali nuansa hukum konstitusi, berpotensi menetapkan tolok ukur untuk argumentasi hukum dalam kasus-kasus serupa di masa depan dan menggarisbawahi taruhan hukum yang tinggi yang terlibat.  

Keputusan MK, setelah dikeluarkan, akan bersifat final dan mengikat secara hukum bagi semua pihak. Putusan ini akan secara definitif menyelesaikan status teritorial Pulau Tujuh Pekajang, baik dengan mempertahankan status administratifnya saat ini di bawah Kepulauan Riau atau memutuskan mendukung Bangka Belitung, yang akan memerlukan penarikan kembali batas provinsi. Hasilnya akan memberikan kepastian hukum yang telah lama ditunggu-tunggu untuk pulau yang disengketakan ini.

Kesimpulan

Pertarungan hukum yang akan datang di Mahkamah Konstitusi mengenai Pulau Tujuh Pekajang menggarisbawahi kebutuhan kritis dan berkelanjutan akan kepastian hukum yang definitif dalam sengketa batas antarprovinsi di Indonesia. Sementara Pemerintah Provinsi Bangka Belitung secara aktif berupaya mengklaim kembali pulau tersebut, didorong oleh keinginan yang dinyatakan untuk mencegah keresahan lebih lanjut, Kepulauan Riau tetap teguh pada kendali administratifnya saat ini, yang didukung oleh keputusan Kementerian Dalam Negeri tahun 2021.

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tidak hanya akan memberikan resolusi konklusif untuk klaim teritorial spesifik yang telah berlangsung lama ini, tetapi juga akan membawa dampak signifikan bagi tata kelola administratif, pengelolaan sumber daya, dan identitas regional bagi Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Lebih luas lagi, putusan tersebut akan berkontribusi pada kerangka hukum yang berkembang untuk menyelesaikan sengketa batas internal serupa di seluruh kepulauan Indonesia, mendorong stabilitas jangka panjang dan kejelasan dalam geografi administratif negara.

(B.Rexxa)

Lebih Banyak Artikel

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru