spot_img

Rismon Sianipar Akui Foto Ijazah Jokowi yang Diposting di Medsos Potensial Palsu, Bukan Ijazahnya

Friday, June 27, 2025

Wajib dibaca

NARASIKEPRI.com, Jakarta – Polemik soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik setelah ahli digital forensik Rismon Sianipar akhirnya meluruskan bahwa yang ia maksud palsu bukan ijazah aslinya, melainkan foto ijazah yang beredar di media sosial. Pengakuan ini muncul saat ia berdialog dalam sebuah podcast bersama pakar psikologi forensik Reza Indragiri, yang mempertanyakan dasar klaim Rismon.

Baca Juga: Motif di Balik Isu Ijazah Jokowi: Antara Kritik Politik dan Upaya Dekonstruksi Legitimasi

Dalam podcast yang kini viral di berbagai platform digital, Rismon mengklarifikasi bahwa selama ini ia tidak pernah menyatakan ijazah Jokowi palsu, tetapi foto yang diklaim sebagai ijazah asli oleh akun media sosial Dian Sandi-lah yang menurutnya hasil editan. Klarifikasi ini muncul setelah Reza mempertanyakan metode analisis Rismon, yang tidak pernah memegang ijazah asli Jokowi secara fisik.
  • Rismon Sianipar, akademisi dan pakar forensik digital lulusan Universitas Yamaguchi, Jepang.
  • Reza Indragiri, pakar psikologi forensik yang mempertanyakan metode kerja Rismon.
  • Josua M. Sinambela, pakar IT dan forensik digital yang menyanggah analisis Rismon dan menyebut bahwa foto/video ijazah Jokowi yang dianalisis adalah miliknya yang dikirim lewat WhatsApp.
  • Dian Sandi, pemilik akun media sosial yang menyebarkan foto-foto ijazah Jokowi yang kemudian diuji oleh Rismon.
  • Joko Widodo, Presiden RI ke-7 yang menjadi subjek dari klaim keaslian ijazah.
  • Diskusi dan klarifikasi terjadi awal Juni 2025, dalam podcast yang beredar luas di media sosial dan kanal YouTube.
  • Lokasi podcast tidak disebutkan, tetapi dampaknya menyebar secara nasional lewat media digital.

Isu ini berawal dari unggahan media sosial yang mengklaim menunjukkan ijazah asli Presiden Jokowi. Rismon, yang menganalisis foto tersebut menggunakan metode Error Level Analysis (ELA), menyimpulkan bahwa terdapat indikasi kuat pengeditan digital. Namun, kesimpulan awalnya menimbulkan salah tafsir publik seolah-olah menyatakan ijazah aslinya palsu, yang kemudian dia luruskan dalam podcast tersebut.

Baca Juga :  Ribuan Buruh dan Pensiunan PT Pos Indonesia Batal Gelar Aksi 3 Juni, Perundingan Dijadwalkan 5 Juni

Dalam klarifikasinya, Rismon menegaskan bahwa foto yang dianalisis mengandung jejak kompresi tidak seragam dan potensi “copy-paste”, sehingga menimbulkan dugaan kuat foto tersebut telah diedit secara digital. Namun, dia juga mengakui bahwa ia tidak pernah memverifikasi dokumen asli.

Sementara itu, Josua M. Sinambela menegaskan bahwa tidak etis dan tidak akurat secara ilmiah menyimpulkan keaslian dokumen hanya dari hasil analisis atas foto digital. Menurutnya, foto hanya dapat menjadi petunjuk awal, bukan dasar konklusi ilmiah. Ia juga mengungkap bahwa materi yang digunakan Rismon berasal dari dirinya, dan disalahgunakan tanpa izin.

Josua yang dikenal luas di komunitas forensik digital memaparkan bahwa ia telah membandingkan skripsi Jokowi dengan skripsi mahasiswa UGM angkatan 1985 lainnya, dan menemukan kesesuaian signifikan, baik dari segi font, format, hingga tempat penjilidan. Ia juga menepis argumen Rismon soal penggunaan font Times New Roman sebagai indikasi pemalsuan, dengan menunjukkan bahwa font tersebut sudah lazim digunakan saat itu.

Lebih jauh lagi, Josua mempertanyakan kredibilitas keahlian Rismon karena dalam kasus sebelumnya, Rismon sempat dikritik terkait latar belakang akademik dan analisis sepihak.

Klarifikasi ini menjadi momen penting bagi publik untuk memahami batas antara analisis ilmiah dan asumsi berlebihan. Dalam era digital yang penuh informasi manipulatif, klarifikasi berbasis keilmuan dan etik akademik menjadi sangat penting untuk menjaga integritas wacana publik.

Reza Indragiri sendiri menekankan bahwa kesimpulan yang aman dan adil secara naratif adalah: “bukan ijazah Jokowi yang palsu, tetapi foto ijazah yang diklaim asli oleh akun tertentu itu yang perlu diuji dan tidak bisa dijadikan dasar tuduhan.”

Kasus ini memperlihatkan betapa rentannya masyarakat terhadap disinformasi yang bersumber dari data digital yang tidak diverifikasi. Masyarakat diharapkan lebih kritis dalam menyikapi isu-isu yang menyangkut reputasi dan integritas pejabat publik, dengan tidak mudah percaya pada konten viral, dan mengutamakan verifikasi dari lembaga resmi atau akademisi berkompeten yang taat pada metodologi ilmiah.

Baca Juga :  PMI Ditembak di Perairan Malaysia, Kementerian HAM RI Minta Investigasi Transparan

(B.Rexxa)

- Advertisement -spot_img

Lebih Banyak Artikel

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru