NARASIKEPRI.com, Jakarta — Isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali mengemuka melalui pernyataan dan konten yang disebarluaskan oleh mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, beserta rekan-rekannya. Walau telah dibantah secara resmi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tidak terbukti dalam proses hukum, narasi ini terus dihidupkan di ruang publik. Lalu, apa sebenarnya motif di balik pengulangan isu ini, dan bagaimana masyarakat seharusnya menyikapinya?
Baca Juga: Polemik Ijazah Jokowi: Antara Tuduhan Tak Terbukti dan Kepentingan Politik
Berdasarkan penelusuran berbagai pernyataan publik dan pola komunikasi mereka, motif Roy Suryo dan kelompoknya dapat dikaji melalui tiga pendekatan:
1. Kritik terhadap Otoritas dan Transparansi
Roy Suryo mengklaim bahwa langkahnya didasarkan pada niat untuk menguji transparansi dan keabsahan data publik seorang pejabat negara. Menurutnya, setiap warga negara berhak mempertanyakan keabsahan dokumen negara, terutama milik Presiden. Meski demikian, kritik ini dianggap tidak berdasar karena tidak disertai bukti autentik pembanding atau fakta baru yang objektif.
2. Kepentingan Politik Elektoral
Isu ini kembali menguat menjelang Pemilihan Presiden 2024. Banyak pengamat melihat bahwa isu ijazah digunakan untuk mendiskreditkan Jokowi sebagai sosok sentral dalam kontestasi politik nasional, terutama karena pengaruhnya terhadap calon-calon yang maju, seperti Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi. Dengan menggoyang legitimasi pribadi Jokowi, efek domino diharapkan mengenai lingkaran kekuasaan di sekitarnya.
3. Strategi Disrupsi Opini Publik
Sebagai tokoh dengan latar belakang telematika dan komunikasi, Roy Suryo paham bagaimana isu sensasional bisa memicu viralitas. Dengan memunculkan kembali narasi lama, ada dugaan bahwa mereka sengaja memainkan opini publik untuk mengganggu fokus masyarakat dari isu-isu strategis lain seperti ekonomi, hukum, atau kebijakan pemerintahan.
Fakta yang Telah Terverifikasi
- Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menyatakan secara resmi bahwa Joko Widodo adalah alumni sah Fakultas Kehutanan tahun 1985.
- Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menolak gugatan terkait dugaan ijazah palsu karena tidak cukup bukti.
- Berbagai dokumen administrasi, termasuk daftar mahasiswa dan transkrip nilai, telah diverifikasi dan dipublikasikan.
- Presiden Jokowi sendiri tidak secara langsung menanggapi polemik ini, dan menyerahkannya pada institusi terkait sebagai bentuk penghormatan terhadap mekanisme hukum.
Apa yang Harus Dipahami Masyarakat?
Masyarakat perlu memiliki pemahaman kritis dan tidak reaktif terhadap isu-isu yang menyangkut figur publik, apalagi jika berkaitan dengan tuduhan serius seperti pemalsuan identitas atau dokumen akademik. Beberapa hal penting yang harus dicermati:
- Verifikasi Fakta: Pastikan informasi berasal dari sumber resmi dan bukan sekadar potongan video, gambar, atau opini yang viral di media sosial.
- Motivasi Politik: Sadari bahwa menjelang tahun-tahun politik, banyak isu yang dimunculkan bukan untuk kepentingan publik, melainkan strategi elektoral.
- Pentingnya Literasi Digital: Jangan mudah percaya terhadap narasi tunggal. Selalu periksa silang antara klaim dan bantahannya dari berbagai sumber kredibel.
- Etika Demokrasi: Kritik sah dan dilindungi hukum, tetapi menyebarkan tuduhan tanpa dasar justru mencederai demokrasi itu sendiri.
Polemik ijazah Presiden Jokowi, yang terus diangkat oleh Roy Suryo cs, pada akhirnya tidak lebih dari gema politik yang berulang tanpa substansi hukum. Masyarakat Indonesia perlu mengedepankan akal sehat, menjunjung prinsip keadilan, dan menolak segala bentuk disinformasi yang tidak hanya merusak reputasi seseorang, tetapi juga merusak kualitas demokrasi kita. Sebab, membangun negeri tidak bisa berangkat dari kebohongan yang dipelihara demi kepentingan sesaat.
(B.Rexxa)