NarasiKepri.com, Jakarta – Gelombang demonstrasi terus berlangsung, menyoroti isu seperti kematian pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan, reformasi DPR, dan transparansi aparat negara. Unjuk rasa yang dimulai sejak 25 Agustus tersebut kini masih berlanjut, bahkan hingga Sabtu pagi, dengan sebagian pengunjuk rasa bertahan di Jalan Gatot Subroto dekat Gedung DPR/MPR, sembari mengumandangkan slogan-slogan seperti “Polisi pembunuh rakyat.”
Baca Juga: Doa Bersama Ojol dan Polisi Batam: Kenangan untuk Affan Kurniawan, Upaya Jaga Kondusivitas Kota
Pengunjuk rasa terdiri dari beragam elemen: mahasiswa, buruh, pelajar, serta kolega Affan Kurniawan—termasuk komunitas ojol. Mereka menuntut pertanggungjawaban atas kematian Affan dan mendesak DPR serta aparat hukum untuk lebih transparan.
Unjuk rasa ini meluas ke berbagai kota, tidak hanya di Jakarta. Massa melakukan aksi di Polda Metro Jaya dan Markas Brimob, bahkan beberapa merusak fasilitas umum—seperti membakar bus polisi dan halte Transjakarta di beberapa lokasi. Selain itu, media sosial diwarnai tagar #PolisiPembunuhRakyat yang menjadi trending topik akibat kemarahan publik atas insiden Affan.
Demonstrasi bermula pada Senin, 25 Agustus 2025, dan mencapai puncak kericuhan pada 28–29 Agustus. Hingga Sabtu pagi, massa masih bertahan di sekitar gedung DPR/MPR, mempertegas penolakan terhadap cara kerja aparat dan lambannya penyelesaian isu oleh Pemerintah.
Kematian tragis Affan yang dilindas oleh rantis Brimob di tengah aksi menimbulkan kemarahan publik. Isu reformasi DPR dan transparansi aparat muncul sebagai tuntutan utama. Massa menuntut penyelidikan yang adil dan pengunduran diri pejabat yang terlibat serta solusi politik yang lebih mendasar.
Gedung DPR/MPR dikepung oleh aparat, beberapa pintu gerbang dijebol demonstran hingga dibakar. Dalam menghadapi tekanan publik, Kadiv Propam Polri menyatakan akan menangani proses hukum terhadap anggota Brimob yang terlibat secara transparan.
Demonstrasi ini telah meluas secara nasional, menimbulkan perdebatan serius soal legitimasi kekerasan aparat terhadap rakyat. Tuntutan reformasi dan transparansi makin menguat, berpotensi memicu revisi dalam mekanisme pengawasan lembaga negara dan penegakan hukum.
(B.Rexxa)