NarasiKepri.com, JAKARTA — Di tengah meningkatnya tekanan global untuk menyudahi kekerasan di Gaza, pemerintah Indonesia dinilai perlu bersuara lebih lantang dan jelas dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Berbagai pihak menilai bahwa pendekatan Indonesia saat ini masih terkesan hati-hati dan simbolis, jauh dari sikap tegas yang selama ini menjadi bagian dari identitas politik luar negeri Indonesia.
Baca Juga: Pemprov Kepri Sesuaikan Arah Kebijakan Fiskal dan Pembangunan Semester II Tahun 2025
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana pengiriman 10.000 ton beras ke Gaza sebagai bentuk bantuan kemanusiaan. Namun, sejumlah pengamat mengkritik langkah ini sebagai kurang efektif, mengingat sulitnya akses distribusi di wilayah konflik yang hancur total akibat agresi militer Israel. “Tanpa listrik, air bersih, dan jalur distribusi yang aman, bantuan ini berisiko menjadi hanya simbol, bukan solusi nyata,” kata seorang analis kebijakan luar negeri yang enggan disebutkan namanya.
Lebih lanjut, sikap Indonesia yang ikut menandatangani pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 juga dinilai ambigu. Meskipun pernyataan itu merupakan bagian dari upaya diplomatik internasional, banyak yang melihatnya sebagai langkah mundur dari posisi historis Indonesia yang konsisten mendukung hak-hak rakyat Palestina.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan sejarah panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, dituntut untuk mengambil peran lebih aktif dan berani. Negara-negara sekutu lama Israel seperti Prancis, Inggris, dan Kanada bahkan telah mulai menyuarakan dukungan terhadap pengakuan negara Palestina. Dalam konteks ini, Indonesia dinilai justru tertinggal.
Presiden terpilih Prabowo Subianto pun diharapkan memanfaatkan kesempatan pidatonya di Sidang Umum PBB bulan depan untuk menyatakan sikap Indonesia secara tegas. “Dunia tidak butuh lagi seruan damai yang hangat-hangat kuku atau dukungan samar terhadap solusi dua negara. Dunia butuh posisi yang jelas dan tak tergoyahkan,” ujar pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia.
Kekhawatiran juga muncul atas pernyataan Prabowo sebelumnya yang menyatakan kesiapan Indonesia menampung pengungsi Gaza. Pernyataan ini sempat dipelintir media Israel seolah Indonesia mendukung pengusiran warga Palestina dari tanah airnya. Hal ini justru bisa merusak citra Indonesia secara internasional dan memicu kekecewaan publik dalam negeri.
Sebagian besar masyarakat Indonesia tetap menunjukkan solidaritas kuat terhadap Palestina, dibuktikan dengan demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan berbagai kota lainnya. Ketidaktegasan pemerintah dalam isu ini bisa berbalik menjadi tekanan publik yang serius terhadap legitimasi kebijakan luar negeri.
Memang, Indonesia tengah mengejar keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) serta memperluas diplomasi globalnya. Namun, menurut banyak pihak, ambisi ini seharusnya tidak mengorbankan prinsip moral yang telah menjadi dasar diplomasi Indonesia sejak era kemerdekaan.
Sebagai negara dengan pengaruh besar di kawasan, Indonesia dituntut untuk tidak sekadar mengikuti narasi yang dibentuk di Washington, New York, atau Brussel. Sebaliknya, Indonesia harus menjadi suara moral dunia yang menyuarakan keadilan dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel selama penjajahan masih berlangsung.
Dalam situasi penuh ketidakpastian global ini, suara tegas Indonesia sangat dibutuhkan—bukan bisikan samar dari pinggir panggung diplomasi.
(B.Rexxa)