NARASIKEPRI.com, BATAM – Konflik yang memanas antara Israel dan Iran pada Juni 2025 telah menjadi episentrum ketidakpastian geopolitik global, memicu kekhawatiran meluas terhadap stabilitas ekonomi dan keuangan dunia. Eskalasi ini secara langsung menyoroti peran krusial bank sentral, termasuk Bank Indonesia (BI) dan Federal Reserve AS (The Fed), dalam menjaga stabilitas di tengah gejolak pasar yang tak terduga. Peristiwa di Timur Tengah ini tidak hanya memengaruhi dinamika regional, tetapi juga mengirimkan gelombang kejut yang merambat ke seluruh penjuru dunia, memaksa para pembuat kebijakan untuk mengevaluasi ulang strategi mereka di tengah lingkungan yang semakin tidak dapat diprediksi.
Baca Juga: Prabowo Dorong Peningkatan Penerbangan Langsung Rusia-Indonesia, Perkuat Hubungan Strategis
Artikel ini akan mengulas kronologi eskalasi konflik, implikasinya terhadap pasar keuangan global—khususnya harga minyak—serta respons kebijakan moneter dari BI dan The Fed. Selain itu, akan dibahas bagaimana ketahanan ekonomi dan strategi kebijakan luar negeri Indonesia beradaptasi menghadapi tantangan global ini. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai dampak peristiwa geopolitik terhadap ekonomi makro dan respons kebijakan yang diambil untuk memitigasi risiko.
II. Eskalasi Konflik Israel-Iran: Kronologi dan Dampak Langsung
Apa yang Terjadi?
Ketegangan antara Israel dan Iran mencapai puncaknya dengan serangkaian serangan udara dan drone yang dilancarkan Israel terhadap wilayah Iran sejak 13 Juni 2025. Serangan awal ini menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran, serta ilmuwan terkemuka negara tersebut. Operasi militer Israel kemudian meluas pada 14 Juni, mencakup serangan terhadap industri energi Iran, dan berlanjut dengan serangan udara intensif pada 15 Juni.
Sebagai respons, Iran membalas dengan meluncurkan ratusan rudal dan drone ke wilayah Israel. Serangan balasan ini menghantam beberapa area perkotaan, termasuk Tel Aviv, Bat Yam, dan Haifa, menyebabkan kerusakan signifikan. Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat parah. Amnesty International melaporkan bahwa setidaknya 224 orang tewas di Iran, termasuk 74 wanita dan anak-anak, dengan 1.800 orang terluka. Di Israel, serangan Iran menyebabkan kematian 24 warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak, dan melukai hampir 600 orang.
Lebih lanjut, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan adanya kerusakan parah pada fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Isfahan akibat serangan Israel. Penargetan fasilitas nuklir ini, ditambah dengan kemampuan Iran untuk memperkaya uranium hingga 60% , meningkatkan konflik di luar ranah perang konvensional, memicu kekhawatiran serius tentang proliferasi nuklir global. Peningkatan taruhan ini secara langsung meningkatkan risiko keamanan internasional.
Siapa yang Terlibat?
Aktor utama yang terlibat langsung dalam konflik ini adalah Israel dan Iran. Namun, eskalasi ini juga menarik perhatian dan potensi keterlibatan pihak ketiga. Amerika Serikat, sebagai sekutu dekat Israel, terlibat secara diplomatik dan militer. Presiden Donald Trump menyatakan akan memutuskan dalam dua minggu apakah militer AS akan terlibat langsung dalam konflik tersebut, dan ada laporan yang mengindikasikan bahwa AS mungkin bergabung dengan Israel dalam menyerang Iran. Retorika kuat dari Presiden Trump juga menambah tekanan pada situasi yang sudah tegang.
Selain itu, konflik ini menunjukkan potensi dampak regional yang lebih luas. Yordania melaporkan bahwa dua drone yang terkait dengan konflik tersebut telah melukai seorang anak, mengindikasikan kemungkinan efek limpahan ke negara-negara tetangga. Potensi keterlibatan AS dan dampak regional ini memperjelas bahwa krisis ini bukan sekadar perselisihan regional, melainkan memiliki potensi internasionalisasi yang lebih luas. Peningkatan risiko geopolitik ini secara langsung menyebabkan ketidakpastian pasar yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh lonjakan indeks risiko geopolitik. Hal ini memaksa bank sentral dan pemerintah di seluruh dunia untuk mempertimbangkan skenario terburuk, yang pada gilirannya memengaruhi keputusan investasi dan aliran modal.
Kapan Terjadi?
Eskalasi konflik yang signifikan terjadi dari Jumat, 13 Juni 2025, hingga Minggu, 15 Juni 2025, ditandai dengan serangan dan balasan yang intensif. Perkembangan ini terjadi di tengah negosiasi yang sedang berlangsung antara Iran dan AS mengenai pembatasan program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi. Waktu eskalasi ini, di tengah upaya diplomatik, menunjukkan kompleksitas dan kerapuhan upaya penyelesaian damai.
Di Mana Dampaknya?
Dampak langsung konflik terasa di berbagai provinsi di Iran, seperti Alborz, Esfahan, dan Tehran, serta di area perkotaan di Israel, termasuk Tel Aviv dan Bat Yam. Namun, dampak tidak langsungnya jauh lebih luas, memengaruhi pasar keuangan global, harga komoditas, dan keputusan kebijakan moneter bank sentral di seluruh dunia.
Dampak kemanusiaan yang parah, dengan banyaknya korban sipil yang dilaporkan oleh Amnesty International , menempatkan konflik ini di bawah pengawasan global yang ketat. Biaya kemanusiaan yang tinggi ini dapat memicu tekanan dari badan-badan internasional dan organisasi kemanusiaan, yang berpotensi memengaruhi upaya diplomatik, sanksi, atau bahkan aliran bantuan. Kondisi ini menambah lapisan kompleksitas pada lanskap geopolitik dan dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
III. Implikasi Ekonomi Global: Pasar Minyak dan Keuangan
Volatilitas Harga Minyak
Konflik Israel-Iran segera memicu lonjakan harga minyak mentah di pasar global. Harga patokan minyak mentah AS (West Texas Intermediate) melonjak 4,3% menjadi $74,84 per barel, sementara Brent crude, standar internasional, naik 4,4% menjadi $76,45 per barel. Sejak dimulainya konflik pada 13 Juni 2025, harga Brent crude telah meningkat sekitar 10%, dan harga gas alam juga mengalami kenaikan signifikan sekitar 7%.
Peningkatan harga ini sangat terkait dengan peran strategis Selat Hormuz. Iran adalah produsen minyak utama dan terletak di selat sempit ini, yang merupakan jalur pelayaran vital bagi sekitar sepertiga perdagangan minyak laut global, dengan volume sekitar 20 juta barel per hari pada tahun 2024. Ancaman gangguan terhadap jalur ini adalah “kekhawatiran utama pasar” dan dapat mendorong harga minyak hingga $120 per barel, bahkan berpotensi mencapai $150 per barel jika gangguan pasokan berlanjut hingga akhir tahun. Skenario terburuk melibatkan perluasan konflik ke produsen minyak besar lainnya di kawasan tersebut, yang dapat memengaruhi sepertiga dari total produksi minyak global. Untuk menstabilkan pasokan di tengah gejolak ini, pemerintah di seluruh dunia dapat memanfaatkan cadangan minyak strategis mereka, seperti yang dimiliki AS dengan lebih dari 400 juta barel.
Guncangan Pasar Keuangan
Pasar saham global menunjukkan reaksi mundur terhadap ketidakpastian ini. Indeks S&P 500 turun 0,8% dan mengalami kerugian moderat selama dua minggu berturut-turut. Sektor energi dan material berpotensi mengalami rebound karena kenaikan harga komoditas, namun sektor diskresioner konsumen kemungkinan akan terus berada di bawah tekanan akibat erosi pendapatan sekali pakai dan tarif yang lebih tinggi.
Di pasar obligasi, yield obligasi Treasury AS relatif stabil , dan dolar AS juga menunjukkan stabilitas. Namun, sentimen investor secara keseluruhan menjadi lebih hati-hati. Ketidakpastian yang tinggi menyebabkan bisnis dan konsumen menunda keputusan investasi dan pengeluaran.
Tabel berikut menyajikan perbandingan kebijakan moneter antara Bank Indonesia dan Federal Reserve pada Juni 2025:
Tabel 2: Perbandingan Kebijakan Moneter BI dan The Fed (Juni 2025)
Fitur | Bank Indonesia (BI) | Federal Reserve (The Fed) |
Suku Bunga Acuan (Juni 2025) | 5,50% (7-day reverse repurchase rate) | Tidak Berubah (Target range tidak disebutkan) |
Perubahan Suku Bunga Terakhir | Ditahan | Ditahan |
Prioritas Utama | Stabilitas Rupiah, dukungan pertumbuhan domestik | Mengamati dampak inflasi dari tarif & geopolitik |
Proyeksi Suku Bunga | Mengisyaratkan pemotongan di akhir 2025 untuk pertumbuhan | Memproyeksikan dua kali pemotongan suku bunga tahun ini |
Kondisi Inflasi | Terkendali, mendekati batas bawah target (1.5-3.5%) | Diperkirakan akan meningkat karena tarif |
Kondisi Pertumbuhan Ekonomi | Melambat menjadi 4.9% (Q1), perlu dukungan | Diperkirakan melambat, pengangguran sedikit meningkat |
Faktor Pertimbangan Lain | Ketidakpastian tarif, ketegangan geopolitik Timur Tengah, aktivitas investasi lemah, stimulus fiskal pemerintah | Ketidakpastian tarif, ketegangan geopolitik, dampak pada pinjaman lintas batas |
Pembelian Obligasi | Rp124,33 triliun SBN hingga 17 Juni 2025 | Tidak disebutkan dalam konteks ini |
Ekspor ke Spreadsheet
Penelitian Federal Reserve menggarisbawahi bahwa ketegangan geopolitik mengintensifkan dampak internasional dari kebijakan moneter, terutama selama fase pengetatan. Ini berarti bahwa setiap tindakan kebijakan oleh The Fed akan memiliki efek yang lebih jelas dan bergejolak pada pasar keuangan global dan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini membuat tugas BI dalam mengelola stabilitas Rupiah menjadi jauh lebih kompleks, membutuhkan pendekatan yang sangat lincah dan berbasis data yang melampaui fundamental domestik atau perubahan suku bunga langsung The Fed.
Meskipun BI dan The Fed sama-sama menahan suku bunga, alasan mendasar dan pandangan masa depan mereka berbeda. The Fed terutama prihatin dengan tarif dan inflasi, sementara BI menyeimbangkan stabilitas Rupiah dengan dukungan pertumbuhan domestik. Keduanya berada dalam mode “wait and see”, mencerminkan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Perbedaan ini, ditambah dengan transmisi kebijakan yang diperkuat, menyiratkan bahwa sistem keuangan global sedang menavigasi periode di mana bank sentral utama, meskipun menghadapi guncangan eksternal yang serupa, mungkin tidak bergerak dalam sinkronisasi yang sempurna. Hal ini berpotensi menciptakan lebih banyak volatilitas untuk aliran modal lintas batas dan nilai tukar.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan paket stimulus fiskal yang signifikan untuk mendukung konsumsi. Ini memberikan langkah kontra-siklus yang penting terhadap perlambatan ekonomi. Dukungan fiskal ini berpotensi mengurangi tekanan pada BI untuk secara agresif memotong suku bunga demi pertumbuhan, memungkinkannya untuk memprioritaskan stabilitas mata uang. Ini menyoroti pentingnya koordinasi yang efektif antara kebijakan fiskal dan moneter selama periode ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang tinggi, di mana langkah-langkah fiskal dapat berfungsi sebagai “peredam kejut” yang vital.
V. Ketahanan Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Diversifikasi Kemitraan Strategis
Indonesia secara aktif melakukan diversifikasi kemitraan strategisnya sebagai bagian dari upaya membangun ketahanan ekonomi di tengah lanskap geopolitik yang bergejolak.
Hubungan dengan Jepang: Jepang terus menjadi investor asing yang signifikan di Indonesia, menempati peringkat keempat terbesar pada tahun 2023 dengan investasi mencapai $4,63 miliar. Kemitraan ekonomi ini semakin diperkuat pada Juni 2025 dengan penandatanganan kontrak kerja sama senilai Rp3,30 triliun dan MoU senilai $200,8 juta. Kerja sama ini terjalin melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), yang mencakup berbagai sektor seperti manufaktur, pertanian, dan pengembangan sumber daya manusia. Selain itu, inisiatif “seaBLUE” yang didanai Jepang diluncurkan pada Juni 2025 untuk mendukung nelayan skala kecil dan mempromosikan ekonomi kelautan berkelanjutan di Indonesia, dengan fokus pada pembangunan kapasitas dan teknologi hijau. Sektor-sektor yang menjanjikan untuk investasi Jepang di tahun 2025 meliputi manufaktur dan otomotif (termasuk kendaraan listrik), energi terbarukan, ekonomi digital, infrastruktur, dan kesehatan.
Penguatan Hubungan dengan Rusia (BRICS): Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia pada 18-20 Juni 2025, bertemu dengan Presiden Vladimir Putin. Pertemuan tersebut digambarkan sebagai “intens, hangat, dan produktif,” membahas kerja sama di berbagai sektor termasuk perdagangan, investasi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Prabowo secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Rusia atas dukungan terhadap keanggotaan penuh Indonesia di BRICS. Sebagai langkah konkret, dana kekayaan negara Indonesia, Danantara Indonesia, dan Russian Direct Investment Fund sepakat membentuk dana investasi senilai $2,29 miliar. Indonesia juga membuka peluang untuk peningkatan penerbangan langsung dari Rusia ke berbagai kota di Indonesia, tidak hanya Bali. Presiden Putin menyebut Indonesia sebagai “mitra kunci” Rusia di Asia Pasifik, menggarisbawahi pentingnya hubungan bilateral ini.
Keputusan Presiden Prabowo untuk melewatkan KTT G7 demi bertemu Putin , ditambah dengan upaya aktif Indonesia untuk menjadi anggota penuh BRICS dan pada saat yang sama menjaga hubungan kuat dengan Jepang dan AS (melalui kemitraan strategis yang ditingkatkan) , menunjukkan kebijakan luar negeri non-blok yang disengaja dan tegas. Ini bukan netralitas pasif, melainkan keterlibatan strategis dengan berbagai kutub kekuatan global. Keterlibatan multi-arah ini bertujuan untuk mendiversifikasi ketergantungan ekonomi dan strategis Indonesia, mengurangi kerentanan terhadap guncangan dari satu blok geopolitik atau mitra ekonomi tertentu. Dalam tatanan global yang terfragmentasi, strategi ini meningkatkan ketahanan dan daya tawar Indonesia, berpotensi memungkinkannya untuk “ketiban untung” dari pergeseran lanskap geopolitik dan ekonomi.
Prospek Ekonomi Domestik
Ekonomi Indonesia diperkirakan akan tumbuh mendekati potensinya pada 2025-2026, asalkan tidak ada guncangan eksternal yang merugikan. Prospek pertumbuhan yang tangguh ini didukung oleh upaya diversifikasi kemitraan dan fokus pada sektor-sektor kunci. Namun, Indonesia tetap menghadapi tantangan domestik, seperti inefisiensi transportasi dan rantai pasokan, serta perubahan kebijakan pajak dan investasi yang sering terjadi.
Di sisi lain, inflasi inti Jepang mencapai level tertinggi dalam dua tahun (3,7% pada Mei 2025), namun Bank of Japan yakin ekonominya mampu menahan tekanan tarif AS. Stabilitas ekonomi Jepang ini penting karena Jepang adalah mitra dagang dan investor utama bagi Indonesia.
Dengan memperdalam kerja sama ekonomi dengan mitra tradisional (Jepang) dan non-tradisional (Rusia, BRICS), Indonesia secara efektif melakukan lindung nilai terhadap latar belakang ketidakstabilan global dan ketegangan perdagangan yang meningkat. Perjanjian investasi dengan Jepang di sektor-sektor pertumbuhan utama dan dana investasi baru dengan Rusia merupakan langkah konkret untuk mengamankan modal dan akses pasar. Diversifikasi strategis ini menempatkan Indonesia untuk mempertahankan lintasan pertumbuhannya bahkan jika pola perdagangan global terganggu oleh konflik geopolitik seperti krisis Israel-Iran atau oleh kebijakan proteksionis (tarif). Tujuannya adalah untuk memastikan aliran investasi asing langsung yang stabil dan akses pasar untuk produk-produknya.
VI. Analisis dan Proyeksi: Menavigasi Badai Geopolitik dan Ekonomi
Potensi Skenario ke Depan untuk Konflik dan Dampaknya
Masa depan konflik Israel-Iran dan dampaknya terhadap ekonomi global sangat bergantung pada beberapa skenario yang mungkin terjadi.
- Skenario Eskalasi: Jika konflik meluas, terutama dengan keterlibatan langsung Amerika Serikat atau gangguan signifikan di Selat Hormuz, harga minyak dapat melonjak tajam, berpotensi mencapai $120 hingga $150 per barel. Lonjakan ini akan memicu gelombang inflasi global yang lebih besar dan tekanan stagflasi, di mana pertumbuhan ekonomi melambat sementara inflasi tetap tinggi.
- Skenario De-eskalasi/Pembatasan: Jika negosiasi atau tekanan diplomatik berhasil meredakan ketegangan, pasar dapat melihat penurunan volatilitas. Pernyataan Presiden Trump mengenai “jendela dua minggu” untuk keputusan keterlibatan militer AS menawarkan jalur potensial untuk penyelesaian negosiasi, yang dapat mengurangi ketidakpastian. Namun, risiko geopolitik akan tetap tinggi, mengingat akar penyebab konflik yang mendalam.
- Dampak Jangka Panjang: Terlepas dari skenario jangka pendek, konflik ini mempercepat tren fragmentasi geopolitik dan regionalisasi ekonomi. Negara-negara akan semakin didorong untuk meninjau ulang rantai pasokan mereka dan mendiversifikasi kemitraan strategis untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan di masa depan.
Lonjakan indeks risiko geopolitik ke tingkat yang terlihat selama invasi Rusia-Ukraina menunjukkan bahwa konflik Israel-Iran bukanlah peristiwa yang terisolasi, melainkan bagian dari tren yang lebih luas dari peningkatan fragmentasi dan ketidakstabilan geopolitik. Ini menyiratkan bahwa “guncangan eksternal” semacam itu menjadi lebih sering dan berdampak. Para pembuat kebijakan dan pelaku bisnis harus beradaptasi dengan “normal baru” di mana risiko geopolitik menjadi faktor konstan dan signifikan dalam perencanaan ekonomi. Ini membutuhkan pembangunan ketahanan, redundansi, dan fleksibilitas yang lebih besar ke dalam sistem ekonomi dan rantai pasokan, daripada memperlakukan peristiwa geopolitik sebagai gangguan yang terisolasi dan sementara.
Implikasi Jangka Panjang bagi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Dalam jangka panjang, bank sentral akan terus menghadapi dilema antara menjaga stabilitas harga dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketegangan geopolitik akan memperkuat transmisi kebijakan moneter, membuat keputusan suku bunga lebih berdampak dan berisiko. Ini menuntut kehati-hatian dan fleksibilitas yang lebih besar dari otoritas moneter.
Di sisi fiskal, pemerintah akan menghadapi pilihan anggaran yang sulit di tengah tingkat utang publik yang tinggi dan kebutuhan untuk mengalokasikan kembali anggaran untuk prioritas yang berbeda, seperti pertahanan atau ketahanan pangan dan energi. Pengamatan bahwa pemerintah menghadapi “pilihan anggaran yang sulit” karena “tingkat utang publik yang tinggi” merupakan implikasi jangka panjang yang kritis. Krisis geopolitik seringkali membutuhkan peningkatan pengeluaran pertahanan atau dukungan sosial darurat, yang semakin membebani keuangan publik. Hal ini membatasi kemampuan pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal yang substansial dalam krisis di masa depan, menempatkan beban yang lebih besar pada bank sentral. Ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan fiskal jangka panjang dan potensi krisis utang negara di dunia yang mengalami guncangan geopolitik yang persisten.
Rekomendasi bagi Pembuat Kebijakan dan Investor
Untuk menavigasi lanskap yang tidak pasti ini, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
Bagi Pembuat Kebijakan:
- Ketahanan Energi: Memperkuat cadangan strategis dan diversifikasi sumber energi untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan harga minyak.
- Diversifikasi Rantai Pasokan: Mendorong diversifikasi rantai pasokan untuk mengurangi ketergantungan pada wilayah yang tidak stabil dan meningkatkan ketahanan terhadap gangguan.
- Koordinasi Kebijakan: Meningkatkan koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk respons yang lebih efektif dan terpadu terhadap guncangan eksternal.
- Diplomasi Aktif: Melanjutkan kebijakan luar negeri non-blok yang asertif untuk membangun kemitraan yang luas dan menjaga stabilitas regional, seperti yang telah ditunjukkan Indonesia.
Bagi Investor:
- Diversifikasi Global: Diversifikasi portofolio secara global untuk mengurangi risiko konsentrasi pada satu wilayah atau sektor.
- Fokus Sektor: Pertimbangkan investasi di sektor-sektor yang diuntungkan dari ketidakpastian (misalnya, energi, material) atau yang menjadi prioritas pembangunan (misalnya, energi terbarukan, ekonomi digital di Indonesia).
- “Ride Through It”: Dalam situasi yang sangat tidak pasti, para ahli menyarankan bahwa “cara terbaik untuk mengelola stres adalah dengan melewatinya dan tidak mencoba untuk memperdagangkannya,” menekankan pentingnya perspektif jangka panjang.
VII. Kesimpulan: Menjaga Stabilitas di Tengah Ketidakpastian
Konflik Israel-Iran pada Juni 2025 telah mengirimkan gelombang kejut ke pasar keuangan global, terutama melalui harga minyak, dan menempatkan bank sentral di garis depan dalam menjaga stabilitas. Baik Federal Reserve maupun Bank Indonesia telah menunjukkan kehati-hatian dalam respons kebijakan mereka, dengan BI memprioritaskan stabilitas Rupiah di tengah tekanan eksternal dan The Fed mengamati dampak inflasi dari tarif dan ketegangan geopolitik.
Indonesia, dengan kebijakan luar negeri non-blok yang asertif dan strategi diversifikasi kemitraan ekonomi (dengan Jepang dan Rusia), menunjukkan upaya proaktif untuk membangun ketahanan di tengah lanskap global yang bergejolak. Pendekatan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada satu blok kekuatan dan memanfaatkan peluang dari berbagai arah.
Meskipun prospek tetap tidak pasti dan tantangan seperti inflasi persisten serta kerentanan rantai pasokan masih membayangi, kemampuan untuk beradaptasi, berkoordinasi antar kebijakan, dan berinvestasi dalam ketahanan akan menjadi kunci bagi negara-negara dan pelaku pasar untuk menavigasi badai geopolitik dan ekonomi yang terus berkembang. Stabilitas jangka panjang akan sangat bergantung pada resolusi konflik dan kemampuan sistem global untuk menyerap guncangan yang tak terhindarkan di masa depan.
(B.Rexxa)