NARASIKEPRI.com, Lombok — Proses evakuasi dramatis selama lima hari mewarnai pencarian seorang wisatawan asal Brasil, Juliana Marins (26), yang terjatuh ke dalam jurang sedalam 600 meter di kawasan Gunung Rinjani, Lombok. Misi penyelamatan yang penuh tantangan ini menjadi salah satu yang paling sulit dalam sejarah operasi penyelamatan di kawasan tersebut.
Baca Juga: 24 WNI Masih Transit di Azerbaijan, Pemulangan Bertahap dari Iran Dilakukan Hingga 30 Juni 2025
Evakuasi dipimpin oleh anggota tim SAR berpengalaman, Khafid Hasyadi, yang menyebut insiden ini sebagai yang terburuk selama 15 tahun kariernya. Ia dan timnya harus menunda dua kali upaya evakuasi karena cuaca buruk berupa kabut tebal, hujan deras, dan medan ekstrem.

Peristiwa bermula pada 21 Juni 2025, saat Juliana bersama lima rekannya melakukan pendakian pagi menuju puncak Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter, gunung tertinggi kedua di Indonesia. Naas, Juliana terpeleset dan terjatuh dari tebing setinggi 180 meter hingga masuk ke dalam jurang yang dalamnya mencapai 150 meter.
Awalnya, rekaman drone dan video dari pendaki lain memperlihatkan bahwa Juliana masih hidup dalam kondisi kritis di dasar jurang. Namun, saat tim penyelamat mulai menuruni tebing, mereka tidak menemukan keberadaannya di titik tersebut.
Keesokan harinya, pada 22 Juni, drone kembali memantau dan menemukan bahwa Juliana tidak lagi berada di lokasi semula. Kondisi cuaca memburuk, kabut semakin tebal, dan visibilitas hampir nol, sehingga proses pencarian terpaksa dihentikan sementara.
Setelah cuaca membaik, pencarian dilanjutkan pada 24 Juni. Tim penyelamat, yang terdiri dari 48 personel gabungan, termasuk relawan dan petugas dari berbagai instansi, menuruni jurang hingga kedalaman 600 meter.
Menurut Khafid, saat itu ia harus membawa perlengkapan penyelamatan seberat 10 kilogram sambil memanjat tebing curam dengan risiko batu longsor dan cuaca yang terus berubah.
“Ini adalah operasi paling sulit sepanjang karier saya. Kabut begitu tebal hingga jarak pandang hanya lima meter,” ungkap Khafid.
Setelah dua kali gagal menuruni jurang akibat kabut, akhirnya pada percobaan ketiga, Khafid berhasil mencapai lokasi Juliana. Sayangnya, saat ditemukan, Juliana sudah tidak bernyawa.
Mengingat kondisi yang sudah gelap, tim memutuskan untuk bermalam sambil bergantung di tebing, dengan tubuh mereka terikat pada tali pengaman. Evakuasi jenazah baru dilanjutkan keesokan harinya, tepat pada 25 Juni pukul 06.00 WITA.
Proses pengangkatan jenazah dari kedalaman hingga tebing setinggi 180 meter memakan waktu delapan jam sebelum akhirnya tim berhasil membawa jenazah turun dari Gunung Rinjani.
Rencana untuk menurunkan helikopter guna mempercepat evakuasi gagal total akibat kabut tebal yang tidak memungkinkan penerbangan di area tersebut.
Keluarga Juliana di Brasil mengkritik keras lambatnya proses penyelamatan ini, meyakini bahwa korban bisa saja selamat jika penyelamatan dilakukan dalam hitungan jam, bukan hari.
Menanggapi kritik tersebut, Khafid mengaku bahwa kondisi alam benar-benar menjadi tantangan terbesar.
“Kita bisa saja punya teknologi tercanggih. Tapi kalau alam tidak bersahabat, manusia tetap punya keterbatasan,” tegasnya.
Khafid mengingatkan kepada seluruh pendaki bahwa meskipun Gunung Rinjani menjadi destinasi favorit, tidak semua waktu cocok untuk mendaki.
“Waktu terbaik untuk mendaki adalah antara Agustus hingga September. Kalau cuaca buruk, sebaiknya jangan memaksakan. Kita tidak bisa melawan alam, kita hanya bisa menghindarinya,” ujar Khafid.
Setelah proses evakuasi selesai, jenazah Juliana dibawa ke Bali untuk menjalani autopsi pada 26 Juni, sebelum dipulangkan ke Brasil untuk proses pemakaman oleh keluarganya.
Pihak pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani dan otoritas terkait berencana untuk mengevaluasi prosedur keamanan pendakian, termasuk memperketat izin pendakian di musim yang rawan cuaca ekstrem.v
(B.Rexxa)