NARASIKEPRI.com, Batam — Kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) kembali mencuat di Kota Batam, Kepulauan Riau. Seorang PRT perempuan berinisial I, yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi korban penyiksaan keji oleh majikannya. Yang mengejutkan, korban bahkan dipaksa untuk memakan kotoran anjing.
Baca Juga: Polisi Tetapkan Dua Tersangka dalam Kasus Penganiayaan ART di Batam
Peristiwa memilukan ini terungkap setelah korban berhasil melarikan diri dari rumah majikannya dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang. Berdasarkan keterangan korban, selama bekerja di rumah majikannya di kawasan Batam, ia kerap menerima perlakuan kasar, penghinaan, dan kekerasan fisik.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam keras tindakan kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh seorang pekerja rumah tangga (PRT) berinisial I, di Kota Batam.
“Komnas Perempuan mengecam keras tindakan kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh seorang pekerja rumah tangga berinisial I, asal Sumba Barat, NTT, oleh majikannya R dan seorang rekan kerja di Batam, Kepulauan Riau,” kata Anggota Komnas Perempuan Irwan Setiawan di Jakarta, Kamis.
Kekerasan berawal dari kelalaian kecil, yaitu korban lupa menutup kandang anjing yang kemudian memicu kekerasan yang brutal dan berulang oleh majikannya, R, dan seorang rekan kerja korban.
Puncaknya, korban dipaksa makan kotoran anjing sebagai bentuk hukuman dari majikannya. Tidak hanya itu, korban juga mengalami penyiksaan berupa pemukulan dan kekerasan verbal yang terus-menerus.
Bahkan korban diduga mengalami kekerasan dan eksploitasi sejak mulai bekerja pada Juni 2024. Selain disiksa, korban juga disebut dipaksa makan kotoran anjing.
“Kami mengapresiasi langkah kepolisian dalam menindak kasus ini dan menjerat pelaku dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1E dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp30 juta,” kata Irwan Setiawan.
Sebelumnya, Polresta Barelang, Kepulauan Riau, menetapkan R sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap I (22) yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).
Korban adalah seorang perempuan asal NTT, berinisial I, yang datang ke Batam untuk bekerja sebagai PRT. Identitas majikan yang menjadi pelaku kekerasan masih dirahasiakan oleh pihak kepolisian demi kepentingan penyelidikan.
Kapan dan Bagaimana Kasus Ini Terungkap?
Kasus ini mencuat ke publik pada akhir Juni 2025, setelah korban melaporkan peristiwa tersebut ke aparat kepolisian setempat. Laporan tersebut langsung direspons dengan cepat oleh pihak kepolisian bersama lembaga perlindungan perempuan dan anak.
Korban saat ini sudah diamankan di rumah perlindungan milik Dinas Sosial dan tengah menjalani pemulihan psikologis dan fisik akibat trauma berat yang dialaminya.
Tindakan Hukum dan Respon Komnas Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara tegas mengecam tindakan biadab yang dilakukan oleh majikan korban. Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap pelaku dan memprosesnya secara hukum sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran serta Perlindungan Pekerja Domestik.
“Komnas Perempuan mengecam keras tindakan kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh seorang pekerja rumah tangga berinisial I, asal Sumba Barat, NTT, oleh majikannya R dan seorang rekan kerja di Batam, Kepulauan Riau,” kata Anggota Komnas Perempuan Irwan Setiawan di Jakarta, Kamis.
Komnas Perempuan juga meminta pemerintah daerah, khususnya Pemkot Batam dan Dinas Sosial, untuk memperketat pengawasan terhadap penempatan pekerja rumah tangga, khususnya dari daerah-daerah rentan seperti NTT.
Mengapa Kasus Ini Menjadi Perhatian Serius?
Kejadian ini tidak hanya mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga menjadi cermin buruk atas masih lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja domestik di Indonesia. Kasus seperti ini menunjukkan urgensi percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini masih tertunda.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa kekerasan terhadap PRT adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan tidak dapat ditoleransi.
(B.Rexxa)